Rabu, 27 Juli 2011

Kisah tentang Impian dan Nama

“You’ve got to have your dream in your life” kalimat ini saya kutip dari tulisan seorang teman blogger ‘Dony' dalam blognya http://don85.wordpress.comTulisan-tulisannya banyak bercerita tentang pengalaman berkarirnya sebagai mining engineer di beberapa negara. Tulisan-tulisannya banyak memberi  inspirasi bahkan motivasi luar biasa bagi saya, mungkin juga pembaca blog lainnya.


Saya dan Impian Saya

Memang benar memiliki mimpi adalah sebuah keharusan karena tanpa mimpi sama dengan tidak memiliki tujuan atau cita-cita hidup. Saya pun selalu bermimpi, dan tidak sedikit pula impian-impian saya yang menjadi kenyataan. Impian yang biasa saja sih, mungkin sederhana bagi anda. Tapi indah bagi saya karena saya pernah memimpikannya.

Waktu masih duduk di bangku sekolah dasar (SD) saya suka sekali membuat cerita. Kegemaran saya ini berlanjut hingga saya duduk di bangku SMP, SMA, bahkan di perguruan tinggi. Waktu masih SD, SMP, dan SMA pembaca setia tulisan-tulisan saya hanyalah teman-teman dekat saya, kemudian tetangga-tetangga dekat saya karena mereka sering bertandang ke rumah dan sering duduk mengobrol di meja belajar saya. Mereka yang tanpa sengaja menemukan tulisan saya di buku tulis kumal pun tertarik membacanya, tidak jarang mereka meminjam untuk dibawa pulang agar bisa melanjutkan membaca di rumah. Selesai membaca, mereka kembalikan sambil berkata “diterusin dong ceritanya, ntar klu dah selesai aku pinjam lagi.” Saya senang dan bangga sekali mendapat apresiasi seperti itu. Itulah yang membuat saya bermimpi menjadi pengarang/penulis.

Setiap kenaikan kelas, saya selalu memiliki berlembar-lembar sisa halaman buku tulis. Saya selalu mengambil sisa buku tulis itu, saya kumpulkan dari beberapa buku kemudian saya satukan dengan paper klip. Untuk apa? Saya gunakan lembaran-lembaran itu untuk menulis. Menulis apa? sesuka hati saya, kadang saya menulis tentang pengalaman di sekolah, kadang menulis cerita remaja. Yah, waktu SD saya sudah mulai menulis cerita remaja bahkan dewasa karena banyak membaca cerpen dari ANEKA YESS, ANITA CEMERLANG, FEMINA, KARTINI dan beberapa majalah lain yang saya sudah tidak ingat lagi.

Apakah saya berlangganan majalah-majalah itu? Tidak, saya tidak mampu membeli majalah-majalah itu, saya hanya meminjam tetangga saya yang hobi sekali membaca, dan suaminya rajin membelikan majalah dan tabloid-tabloid untuknya. Ibu sebenarnya suka melihat anaknya senang membaca, ia sering memperhatikan saya yang selalu membaca tiap kertas pembungkus bergambar menarik yang saya temukan.


Saya Bukan Teman Bekerja di Dapur yang Baik

Ibu mengeluh, saya bukan teman yang baik untuk bekerja di dapur, karena saya lambat dalam bekerja. Saya sering tertahan beberapa saat untuk membaca kertas pembungkus belanjaan ibu dari warung karena tertarik dengan artikel atau cerita yang ada dalam kertas itu, termasuk bungkus tempe. setiap kali mengupas tempe selalu tidak bisa menahan diri untuk membaca tulisan-tulisan dalam kertas pembungkusnya. Pernah suatu ketika, saya suka sekali dengan sebuah cerpen pada selembar kertas pembungkus cabai dari warung. Cerpen dari sebuah majalah apa ya, saya lupa. Saya baca, dan kecewa karena tidak ada lanjutannya. Rupanya lanjutan cerita itu masih ada di warung sayur tempat ibu belanja. Tahukah kamu apa yang dilakukan ibuku? Selesai memasak, ibu pergi ke warung sayur tetangga saya itu untuk menanyakan majalah yang tadi disobek untuk membungkus cabai belanjaan ibu. Rupanya, masih ada dan ibu pun meminjam majalah itu untuk diberikan kepada saya agar saya bisa membaca kelanjutan cerita tadi. Baik sekali ya ibuku, saya jadi terharu kalau mengingatnya.

Setelah dewasa saya baru sadar, betapa sebenarnya orangtua kita tidak ingin membawa anak-anaknya dalam kondisi yang tidak menyenangkan. Semampunya mereka selalu berusaha untuk membuat anak-anaknya bahagia. Kondisi waktu itu memang tidak memungkinkan bagi bapak dan ibu saya untuk membelikan buku bacaan. Bapakku hanya pekerja serabutan, artinya ia hanya bekerja kalau ada orang yang membutuhkan tenaganya, ya apa ajalah, ada yang butuh tenaganya untuk mencangkul sawah, ya turun ke sawah untuk mencangkul. Ada yang butuh tenaganya untuk jadi kuli bangunan, ya menyinsingkan lengan dan kerja nguli buat mencari sesuap nasi dan membiayai sekolah anak-anaknya. Ibuku? Tidak berbeda dengan bapak, ibu juga hanya pekerja serabutan, kadang jadi buruh cuci, kadang turun ke sawah, kadang juga bantu bersih-bersih di rumah tetangga. Meskipun pada suatu ketika, ibuku punya kesempatan juga untuk bekerja di pabrik makanan ringan dan home industry pembuatan kasur, tapi gajinya keciiiilll. SPPku dan adikku saja dulu sering nunggak pembayarannya.  Pokoknya, dulu bisa makan 3x sehari saja sudah bersyukur sekali. Makanya, sekarang kalau menyaksikan acara Orang Pinggiran di salah satu stasiun televisi swasta sering terharu sekali saya, sering berlinang air mata, karena ingat masa kecil.

Obsesi Terhadap Sebuah Nama


Waktu masih duduk di bangku sekolah dasar saya merasa malu dengan nama pemberian orang tua. Nama ‘Rantinah’ saya anggap tidak keren dan kampungan, kalau mas Tukul Arwana yang bilang mungkin nama yang katrok kali ya. Maka dari itu aku ingin berganti nama dan waktu itu nama yang aku inginkan adalah Ekaning Ranti Ari Wardani. Mengapa saya memilih nama itu? Tidak tau, yang pasti saya merasa nama itu bagus dan saya suka. Saya sering menuliskan nama itu dalam kertas ulangan saya. Hingga suatu ketika guru kelas memanggil saya ke ruang guru, dan menanyai saya dari hati ke hati. Dialog kami waktu itu kurang lebih seperti ini;
Guru: “Mengapa kamu menuliskan nama ini dalam kertas ulanganmu?”
Saya: “Saya suka nama itu, Pak.”
Guru: “Apa kamu ingin berganti nama dengan nama itu?”
Saya: (Cuma tersenyum malu)
Guru: “Kalau ingin berganti nama dengan nama itu, mumpung belum lulusan kamu bisa membuat pengubahan nama di akta kelahiran dan ijasah nanti. Nanti di rumah bilang sama orang tua, biar diuruskan. Sebentar lagi ada pemutihan pembuatan akta kelahiran. Belum punya akta kelahiran, kan?”
Saya: “Iya, Pak.”
Guru: “Baiklah, tapi besok di kertas ulangan atau tugas jangan menulis nama itu ya. Tuliskan namamu yang sebenarnya. Nanti kalau ditulis beda, Pak guru kan bingung di daftar murid namamu tidak ada. Ngga mau juga kan, nilainya kosong?” (nada yang lembut dan ramah)
Saya: “Iya, Pak.”(Tersenyum malu)
Guru: “Ya sudah, kamu bisa kembali ke kelas.” (tersenyum)

Sesampainya di rumah, saya pun bercerita kepada kedua orang tuaku. Tapi, orang tuaku datar-datar saja. Saya nggak tahu, apa yang ada dalam benaknya. Mungkin ogah mengurusi masalah-masalah seperti itu, karena urusan perut lebih penting. Mereka sudah dipusingkan dengan masalah ekonomi keluarga yang masih compang-camping. Hingga akhirnya, tidak ada penggantian nama sampai sekarang.

Di bangku SMP, aku masih suka dengan nama ‘Ekaning Ranti Ari Wardani’. Saya suka menuliskan nama itu dengan menyingkatnya menjadi E.Ranti.AW. Tapi, sejak mendapat teguran dari guru kelas di SD itu, saya tidak lagi menuliskannya pada setiap kertas ulangan/tugas. Saya hanya sering menuliskan nama itu dalam setiap barang-barang pribadi saya seperti penggaris, tempat pensil, sapu tangan, dan meja belajar. Seorang mahasiswi yang indekost di rumah nenek saya pernah menanyakan tentang hal itu kepada saya. “E.Ranti.AW itu artinya apa?” Tanya mbak Erna, nama mahasiswi itu. “Itu nama saya besok mbak, kalau saya jadi penulis. Saya ingin menjadikan nama itu sebagai nama pena atau nama alias saya.”jawab saya waktu itu, saya pun lupa kok bisa menjawab seperti itu. Mbak Erna bertanya lagi, “Mengapa kok pakai nama E.Ranti.AW?”. Aku jawab, “Biar seperti N.H Dini atau Mira W mbak.”  

Sampai akhirnya, waktu membawa saya ke dunia seperti yang sekarang ini, yaitu dunia tulis menulis dan  edit-mengedit. Seperti impian saya sejak SD, tapi ternyata saya tidak menggunakan atau belum menggunakan E.Ranti.AW sebagai nama pena. Saya masih ingin membangun nama asli saya sebagai nama yang indah, karena indah itu tercipta atas pandangan kita, bagaimana kita menciptakan image atas sesuatu termasuk nama kita. Dalam hal ini, narsis atas nama itu bukan sebuah dosa, sebaliknya banggalah atas namamu, dan buatlah nama itu menjadi indah dan harum. Dengan apa? dengan sikap kita, dengan karya-karya kita, dengan apa saja yang mampu membangun image positif atas nama kita.
Apa impian saya saat ini? saya memang masih memiliki impian dan biarlah saya simpan dalam hati dan pikiran saya, karena saya yakin alam bawah sadar akan merekamnya dan kemudian membimbing saya untuk melakukan sesuatu yang bisa mengarahkan saya pada impian itu. Terlalu banyak resiko bila diungkapkan, pertama dicuri oleh orang lain yang mendengar atau membacanya. Kedua malu bila tidak bisa mewujudkannya.