Sabtu, 05 Juli 2014

PKI VS KORUPTOR : Siapa Lebih Berbahaya?


Situasi Menjelang Pilpres Yang Memanas

Pilpres semakin dekat, suasana politik semakin panas. Black campaign dengan isu-isu SARA banyak dihembuskan, fitnah-fitnah bertebaran tanpa ada yang tahu siapa yang pertama menghembuskannya. Saya memilih tidak mengatakan capres siapa yang lebih banyak difitnah dan diserang isu SARA dan fitnah, karena kenyataan masing-masing capres merasa difitnah dan merasa didzolimi. Ketika kubu Jokowi mengatakan kasihan Pak Jokowi difitnah terus, maka perlawanan dr pendukung Pak Prabowo pun tak kalah seru, bahkan tak jarang yang menuduh semua rekayasa pendukung Jokowi, biar dikasihani, biar terlihat terdzolimi, dan seperti itu terus bergulir, sampai-sampai terlihat ruwet, siapa yg benar siapa yang salah, semua menjadi abu-abu.

Jokowi Kalah Pilpres Akan Terjadi Chaos di Indonesia

Sebetulnya, Prabowo atau Jokowi sama-sama layak menjadi presiden. Mereka berdua sama-sama putra terbaik bangsa.

Prabowo maupun Jokowi, Sebagai negarawan sudah pasti tidak perlu diragukan lagi intelektualitas dan kemampuannya dalam mengendalikan emosi (baca: pengendalian diri). Namun, bagaimana dengan timses, simpatisan, dan follower masing-masing capres? Siapa yang bisa menjamin simpatisan dan follower masing-masing capres untuk bisa patuh terhadap capres yang mereka dukung? Mereka berjumlah jutaan, bayangkan jutaan! Jutaan orang dengan berbagai latar belakang keluarga, pendidikan, sosial, dan budaya tentulah mereka memiliki karakter sangat beragam.

Dua hari lalu, sy membaca berita berjudul Romo Magnis : Jokowi Kalah Pilpres Akan Terjadi Chaos di Indonesia “ di sebuah media online.   (http://www.voa-islam.com/read/opini/2014/06/27/31186/romo-magnis-jokowi-kalah-pilpres-akan-terjadi-chaos-di-indonesia/#sthash.wRH2HiGL.dpbs ) Menurut saya berita itu provokatif, bermuatan menyudutkan capres Jokowi.  Sebab, secara implisit kalimat dalam berita itu mengatakan bahwa Jokowi atau pendukungnya akan tidak terima dengan kekalahan dan membuat chaos. Kalimat ini bahaya, karena bisa dijadikan celah bagi kubu lawan Jokowi untuk dipelintir menjadi anggapan negatif, mereka bisa mengatakan kepada masyarakat bahwa, pendukung Jokowi brutal, anarkis, nanti bisa bikin onar jika kalah.  Padahal jika kita mau berpikir jernih, siapapun yang kalah, Jokowi ataupun Prabowo, semua berpotensi menimbulkan chaos. Seperti saya katakan di muka, Prabowo baik….Jokowi baik, tp siapa yang bisa mengendalikan masing-masing pendukung capres yang jutaan itu, dimana mereka memiliki karakter yang beragam? Namun, rasanya sangat tidak adil, bila anggapan potensi terjadinya chaos hanya ditujukan kepada kubu Jokowi.

Usai membaca berita itu, saya sempat menulis status di dinding facebook, intinya mengatakan bahwa siapapun capres yang kalah kemungkinan chaos ada, karena masing-masing capres memiliki jutaan followers dengan beragam karakter, dan sini baik Prabowo maupun Jokowi saya yakin tak ada yang mampu mengendalikan orang sebanyak itu. Di akhir postingan sy sempat menyisipkan harapan, siapapun yang menang nantinya semoga pilpres berjalan lancar, aman, dan damai.

Ada beberapa komentar dari teman yang mendukung Prabowo maupun Jokowi, biasalah….namanya manusia beda pendapat pasti ada. Demikian pula orang-orang yang sempat meninggalkan komentar. Saat mulai muncul indikasi gesekan pendapat antar komentator, muncullah seorang teman yang turut berkomentar, “Jangan dipostinglah berita itu, aku tahu kamu tidak rela, tp tindakanmu memposting berita sampah dari media abal-abal kayak gitu, sama saja kamu menyiram api unggun dengan minyak tanah, cuma memperbesar api!” Saya pun akhirnya menghapus postingan itu.

Dibilang tidak rela, ya mungkin tidak rela. Karena saya sendiri telah menentukan pilihan kepada Jokowi-JK pada tanggal 9 Juli mendatang. Meski sebetulnya, sebelumnyaa saya suka dengan Prabowo, dan mengharap dia jadi presiden.  Saat dia maju jd wapres berpasangan dengan Megawati dulu, saya pun memilihnya. Di pileg kemarin semua suara saya berikan pada caleg Gerindra, meski saya tak kenal siapa mereka. Itu karena sudah lama sy mempunyai harapan kepada Prabowo. Harapan agar beliau bisa jd presiden, bukan harapan agar dia jadi lelaki saya sehingga sy bisa jadi ibu Negara, sebagaimana pernah dikatakan oleh Adian Napitupulu. Bukan itu!  Serius!!

Saya Ini Seorang Jokower

Jujur, saya ini seorang Jokower. Saya mulai berpaling ke Jokowi-JK semenjak koalisi tenda besar dibentuk.  Saya tak akan menuliskan alasannya, mengapa saya memilih Jokowi-JK. Apa yang sudah pernah dituliskan teman-teman mengenai alasan mereka, mengapa memilih Jokowi sudah mewakili alasan-alasan saya. Diantara alasan-alasan mereka ada satu tulisan yang paling mewakili pandangan dan pemikiran saya, sekira 95% sama dengan alasan-alasan saya, yaitu alasan Beny Raharjo yang ditulis dalam blog pribadinya.  Alasan-alasan itu dituangkan dalam tulisannya yang berjudul Refleksi: Jokowi tidak layak jadi Presiden? (silakan baca linknya di http://www.raharjo.org/kang-jokowi-tidak-layak-jadi-presiden.html)

Pesan Panjang Menjelang Subuh

Menjelang pagi selepas makan sahur, saya sempat tengok facebook. Ada sebuah pesan panjang di inbok, dari salah seorang teman yang sempat ikut berkomentar di status yang sudah saya hapus. Pesan panjang itu ternyata kutipan dari berita di inilah.com. Bunyinya sebagai berikut:

Pakta Atau Pitonah Doi PKI, Yang Pasti Jangan Beri Peluang Komunis Berkuasa! Dalam masa kampanye Pilpres ini ada beberapa peristiwa yang dapat dinilai sebagai indikasi bangkitnya komunis PKI di Indonesia. Peristiwa tersebut dapat ditelusuri sejak Oktober 2002. Saat itu, kader PDIP Ribka Tjiptaning menulis buku dengan judul yang sangat provokatif 'Aku Bangga Jadi Anak PKI'. Menyusul kemudian Juni 2010, pertemuan anak PKI dari berbagai kota yang turut dihadiri oleh anggota DPR RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Rieke Dyah Pitaloka di Banyuwangi, Jawa Timur. Terakhir dikabarkan anak eks-PKI terbang ke China guna belajar politik dari partai komunis di sana. "Sepertinya komunisme sedang lakukan rekonsolidasi secara serius dan terencana di Indonesia," ujar mantan Aster Kasad Mayjen TNI Purn Prijanto di Jakarta, Minggu (29/6/2014). Menurutnya, istilah petugas partai yang disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi juga dinilai modus komunisme. Sebab, istilah petugas partai mirip dengan pekerja partai yang pernah digunakan tokoh PKI DN Aidit. "Dalam otak orang PKI, Babinsa adalah salah satu dari '7 Setan Desa' yang harus dimusnahkan. Adu domba, saling fitnah, lempar isu sembunyi tangan, mengobok-obak institusi TNI AD mirip dengan suasana kebatinan saat PKI akan lakukan kudeta tahun 1965," kata mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2007-2012 tersebut. Menurut Prijanto, pelan-pelan rakyat dijauhkan dari TNI di saat yang sama alutsista TNI dilemahkan. "Tank Leopard yang dibutuhkan TNI AD ditolak. Dalam sejarah, TNI-AD memang adalah musuh bebuyutan komunis-PKI. Sepertinya ada aktor tertentu yang secara terbuka ataupun tersembunyi memanfaatkan kebebasan dalam Pilpres untuk memfitnah dan adu domba. Ada apa? Siapa yang bermain?," jelas dia. Dia menjelaskan, rangkaian petistiwa tersebut patut dinilai komunis PKI menggeliat. Ancaman laten komunis sangat nyata, perlu kita waspadai. "Bagi saya hanya satu kalimat yang paling tepat, jangan pernah beri peluang untuk komunis berkuasa di Indonesia," tandasnya.
Sumber: inilah.com
 Menurut pendapatmu bagaimana Rantinah Sastra?


Saya tidak langsung membalasnya karena, pertanyaan itu butuh penjelasan panjang. Kalau langsung saya jawab dengan singkat khawatir malah menimbulkan kesalahpahaman.  Dan, saya ingin membalasnya di sini.

  •           Jangan Beri Peluang Komunis Berkuasa!


# Partai komunis Indonesia/PKI sudah tidak ada, kenapa masih risau?  Takut dengan bahaya latennya? Ah, sudahlaah. Kita akan menghadapi pilpres, di mana ada dua kandidat, Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK. Mereka sudah melangkah jauh.

  •           Dalam masa kampanye Pilpres ini ada beberapa peristiwa yang dapat dinilai sebagai indikasi bangkitnya komunis PKI di Indonesia. Peristiwa tersebut dapat ditelusuri sejak Oktober 2002. Saat itu, kader PDIP Ribka Tjiptaning menulis buku dengan judul yang sangat provokatif 'Aku Bangga Jadi Anak PKI'.


#Dalam pilpres saat ini, saya amati cara pandang masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu  pandangan positif dan pandangan negatif. Kelompok masyarakat dengan pandangan positif, cenderung menyikapi positif (baca: positive thinking)  setiap hal/kejadian, termasuk hal-hal/kejadian yang sebenarnya tidak diharapkanya. Efeknya, adalah rasa kepercayaan kepada orang lain yang berbeda pandangan. Mereka lebih memilih berpikir positif dan mengesampingkan pikiran “ah…jangan-jangan…ah….jangan-jangan nanti….”.

Beri dulu kesempatan,   kita lihat hasilnya. Bila tidak sesuai harapan, baru kita tuntut dan adili ramai-ramai.

Lain halnya dengan kelompok yang cenderung berpikir negatif, “ah…….jangan -jangan….nanti….”. Fatalnya, kelompok ini tidak jarang seperti diserang paranoid (gangguan mental yang ditandai dengan kecurigaan yang tidak rasional/logis). Misalnya, istilah ‘capres boneka’. Menurut saya istilah ini lahir dari kelompok pendukung prabowo yang cenderung berpikir negatif. Berawal dari opini yang sebenarnya belum tentu kebenarannya, tapi digembar-gemborkan seolah itu benar dan pasti. Opini ini pun berkembang, disampingkan dari orang ke orang, apalagi yang menyampaikan orang yang cukup berpengaruh, orang awam pun menganggap itu benar dan pasti. Akibatnya terjadilah paranoid massal. Ini istilah saya saja. Kalau orang berpikir positif, tidak akan muncul istilah ‘capres boneka’,  paranoid berpotensi mendorong individu melakukan tindakan nekat, termasuk melakukan black campaign.

Bagi kelompok yang  berpikir positif pasti akan berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan lain. Mengapa PDIP mencalonkan Jokowi? Bukankankah secara tradisi kepartaian ketum yang biasa nyapres? Jawabannya jelas! Menjelang pemilu, banyak survei capres yang menyatakan Jokowi pantas jadi presiden. Presiden itu kan pilihan atau aspirasi rakyat, jika memang hasil survei menyatakan Jokowi banyak diharapkan rakyat untuk jadi presiden, bukankah sudah tepat keputusan Megawati? Lalu, kenapa mendadak orang-orang dari kubu Prabowo menjadi paranoid dengan nyapresnya Jokowi?

Kelompok pendukung dengan kecenderungan berpikir positif dan negatif pun ada di kubu Jokowi. Contoh : Reaksi pendukung Jokowi terhadap koalisi tenda besar. Pendukung Jokowi dengan kecenderungan berpikir positf, tidak begitu ambil pusing dengan koalisi itu. Meskipun dengan mudah logika mengatakan, koalisi tenda besar justru memungkinkaan Prabowo dijadikan boneka partai pendukung, yang sudah menyumbangkan massa pemilih untuk memenangkannya. Apalagi, bila mengerti prinsip dan paham yang digembar-gemborkan pentolan-pentolan partai pendukung Prabowo, yang selama ini nyata-nyata bertentangan dengan pluralisme dan intoleransi terhadap minoritas, sementara Prabowo mengklaim menghargai pluralism. Bagi mereka yang berpikiran positif pun menahan diri, ah sudahlah…mudah-mudahan Prabowo tidak seperti yang saya khawatirkan, mudah-mudahan Prabowo tetap bisa tegas jika terpilih nanti. Mereka pun tetap kalem, yang penting tanggal 9 nanti saya coblos no.2, siapapun yang menang, mudah-mudahan membawa kebaikan bagi bangsa Indonesia.  Bagi pendukung Jokowi dengan kecenderungan berpikir negatif, kekhawtiran itu tidak berhenti sampai di situ, mereka bisa menjadi paranoid sehingga melakukan black campaign dengan menyebarkan isu-isu atau opini-opini yang sebenarnya belum tentu benar/pasti, maklum muncul dari pikiran negatif.  Karena masing-masing kubu memiliki pendukung dengan kecenderungan berpikir negatif, terjadilah aksi saling serang kampanye hitam, saling berbalas-balasan, bertambahlah ruwet suasana politik dunia maya maupun politik dunia nyata.

Berangkat dari adanya pendukung berpikiraan positif dan negatif tersebut, saya akan membahas mengenai Ribka Tjiptaning dan bukunya yang berjudul 'Aku Bangga Jadi Anak PKI'. Buku yang sempat dicekal dan dilarang disebarluaskan Karena  dinilai sebagai media propaganda/menyebarkan faham komunisme di Indonesia. Dan, sekarang diangkat ke publik karena kebetulan Ribka adalah seorang anggota legislatif dari PDIP. Hal ini dianggap pendukung kubu Prabowo, sekali lagi sy katakan pendukung, bukan pak Prabowo, sebagai bahan menjatuhkan elektabilitas Jokowi, yaitu dengan melemparkan tuduhan bahwa PDIP sarang PKI, selanjutnya tuduhan pun menyerang Jokowi, Jokowi PKI. Tuduhan Ribka penyebar faham komunis, dan PDIP sarang PKI, dan Jokowi PKI itu pastilah muncul dari kelompok pendukung prabowo yang cenderung berpikiran negatif, atau malah paranoid? Sebab, saya yakin, orang yang berpikir positif tidak pernah terjangkiti paranoid. Mereka cenderung mencari tahu kebenaran informasi yang diterimanya.

Judul Bombastis Dalam  Dunia Penerbitan Buku itu Biasa

Dalam industri kreatif, termasuk industri penerbitan buku membuat judul bombastis itu hal biasa. Karena, ini merupakan salah satu strategi penjualan produk. Saat sebuah penerbit memiliki buku dengan isi bagus tetapi omzet penjualan rendah, maka penerbit dapat merenovasi tampilan cover buku tersebut, termasuk mengubah judul buku dengan yang lebih menarik, meski dinilai bombastis. Bukankah saat akan membeli buku di toko, tampilan kulit yang pertama kali dilirik pembeli. Judul bombastis tentu menarik, meski isi belum tentu sesuai judul. Saya pun berpikir positif terhadap buku “Aku Bangga Jadi Anak PKI.” Judul itu terdengar bombastis dan kontroversial, karena segala hal berkaitan PKI masih menjadi isu sensitif di Negeri ini. Jadi, judul ‘Aku Bangga Jadi Anak PKI’ dinilai penerbit akan menarik dan kontroversial. Akibatnya buku tersebut akan banyak diperbincangkan orang, semakin sering diperbincangkan, semakin banyak orang mencari dan ingin membelinya. Dan, terbukti!
Sebelum mengetahui isinya, aku sudah berpikir positif mengenai isi buku itu. Dugaanku, buku itu berisi kisah perjalanan hidup Ibu Ribka yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan ajaran-ajaran kedisiplinan dari ortunya yang dulu dicap PKI, nilai-nilai positif itulah yang diangkat ibu Ribka, yang menjadikannya bangga karena berkat didikan orang tuanya kini ia bisa menjadi seorang dokter, bahkan anggota legislatif di Senayan. Terlepas ortu seorang PKI atau bukan, salahkah bila seorang anak merasa bangga dengan didikan orang tuanya, yang karena didikannya itu bisa membawanya pada sebuah kesuksesan? Saya sebagai anak seorang kuli bangunan tamatan SD yang dulu senang berjudi pun bisa mengisahkan kebanggaan sy pada orang tua yang berhasil memberikan pendidikan sampai perguruan tinggi. Lalu, membuat buku berjudul bombastis “Aku Bangga, Jadi Anak Penjudi”.

Dugaan saya pun terjawab, Ketua DPP PDIP Budiman Sudjatmiko menjelaskan, buku 'Aku Bangga Jadi Anak PKI' yang ditulis Ribka Tjiptaning hanya berupa memoar perjalanan hidup dan bukan penyebaran ajaran terlarang.

"Buku itu kan isinya memoar perjalanan hidup yang ditulis apa adanya, semua orang boleh membuatnya terlepas apapun latar belakangnya. Mantan teroris juga boleh bikin memoar hidup," ujar Budiman. (http://nasional.inilah.com/read/detail/655221/fpi-keliru-buku-ribka-tak-ajarkan-komunisme#.U7b4K5SSzg9) Lebih detailnya, silakan berburu bukunya. (bukan promosi, serius!)

  •          Menurutnya, istilah petugas partai yang disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi juga dinilai modus komunisme. Sebab, istilah petugas partai mirip dengan pekerja partai yang pernah digunakan tokoh PKI DN Aidit.


#Lagi-lagi ini juga sebuah paranoid yang bersumber dari pikiran negatif, entah siapa orang pertama yang menggulirkannya. Coba cermati kalimat baik-baik.

  • ‘Menurutnya istilah petugas partai yang disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi juga dinilai modus komunisme’. 
 #Istilah yang mirip langsung dinilai sebagai modus komunisme, namanya mirip bisa saja sebuah kebetulan kan?  Jelas kan, ini hanya sebuah dugaan. Dan, rupanya dugaan ini berkembang di masyarakat, apalagi sekarang, sudah dipolitisir, jadilah bahan black campaign yang yahud! Orang bebas beropini, bebas membuat analisa dan prediksi sesuai pemahamannya, terlepas akhirnya analisanya meleset atau tepat. Tapi ingat, bung, analisa adalah sebuah dugaan yang tidak boleh dijadikan alat untuk menuduh. Tp isu tentang Jokowi PKI, PDIP sarang PKI bukan lagi sebuah analisa, tp tuduhan. Tuduhan brutal yang bersumber dr sebuah paranoid komunis. Saya bukan orang PDIP bukan orang Gerindra, dan bukan orang dari partai manapun. Saya membuat tulisan ini juga bukan karena disuruh Jokowi atau TIMSES-nya.

  •           "Dalam otak orang PKI, Babinsa adalah salah satu dari '7 Setan Desa' yang harus dimusnahkan. Adu domba, saling fitnah, lempar isu sembunyi tangan, mengobok-obak institusi TNI AD mirip dengan suasana kebatinan saat PKI akan lakukan kudeta tahun 1965," kata mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2007-2012 tersebut. Menurut Prijanto, pelan-pelan rakyat dijauhkan dari TNI di saat yang sama alutsista TNI dilemahkan. "Tank Leopard yang dibutuhkan TNI AD ditolak. Dalam sejarah, TNI-AD memang adalah musuh bebuyutan komunis-PKI. Sepertinya ada aktor tertentu yang secara terbuka ataupun tersembunyi memanfaatkan kebebasan dalam Pilpres untuk memfitnah dan adu domba. Ada apa? Siapa yang bermain?," jelas dia. Dia menjelaskan, rangkaian petistiwa tersebut patut dinilai komunis PKI menggeliat. Ancaman laten komunis sangat nyata, perlu kita waspadai. "Bagi saya hanya satu kalimat yang paling tepat, jangan pernah beri peluang untuk komunis berkuasa di Indonesia," tandasnya


#Orang begitu paranoid terhadap isu PKI, tidak mengherankan. Semua akibat doktrin ngawur jaman Orde Baru. Di mana setiap peringatan G.30.S/PKI TVRI sebagai salah satu stasiun televisi pemerintah selalu memutar film G.30.S/PKI. Bahkan, saya sendiri pernah mengalami semasa masih duduk di bangku SD, semua murid dikumpulkan di sebuah ruangan dan diajak menonton film itu. Ada sebuah adegan dimana aku tak kuasa melihatnya, lalu aku tutup mata dengan kedua telapak tanganku, sehingga hanya dialognya saja saya dengar. “Penderitaan itu pedih jenderal, sekarang rasakan sayatan silet ini. Pedih, tapi tak sepedih penderitaan rakyat.”suara seorang perempuan, hiiii ngeri. Namun, setelah masa reformasi, pelaku sejarah, juga sejarawan, tiba-tiba membuat revisi sejarah, katanya G.30.S/PKI itu hanya rekayasa dan masih diragukan kebenarannya. Itu hanya usaha kudeta dari seorang Mayjen Soeharto untuk menjatuhkan Bung Karno demi merebut kekuasaannya. Dan, G 30 S/PKI serta supersemarnya itu BOHONG belaka. Masyarakat dicuci otak agar meyakini bahwa PKI dan Bung Karno itu BERSEKONGKOL! Oh, my God!!!

Doktrin tentang komunisme ini masih saya rasakan sewaktu duduk di bangku SMP juga SMA, di mana pernah mendapati seorang guru berkata “Semua murid wajib ikut upacara, yang tidak ikut berarti PKI.” Demikian ucap seorang guru saat mengumumkan akan diadakannya upacara peringatan hari kesaktian pancasila. Betapa mudahnya melabeli PKI hanya karena tidak ikut upacara. Saya tidak termasuk murid yang malas mengikuti upacara, tetapi dalam hati waktu itu berontak. Pak Guru terlalu berlebihan, lebay dalam bahasa anak sekarang. Coba bayangkan, kita yang tidak tahu apa-apa tentang PKI, bahkan tidak melakukan sesuatupun yang berkaitan dengan PKI, tiba-tiba dicap PKI hanya karena tidak ikut upacara hari kesaktian pancasila. Bayangkan!

“Waspadai Bahaya Laten PKI” demikian sy pernah menemui bunyi sebuah stiker, bahkan sewaktu masih SMU dalam rangkaian peringatan hari bahasa Indonesia pernah saya mengikuti lomba menulis di sekolah dengan tema yang tidak jauh dari G.30.S./PKI. Kalau tidak salah waktu itu “Mewaspadai dan Mencegah Bahaya Laten PKI”.
Paranoid terhadap isu bahaya laten PKI di era saat ini apa masih penting, sih? Hal yang belum tentu terjadi tetapi dikhawatirkan terlalu berlebihan. Sebaliknya, bahaya laten korupsi yang jelas-jelas telah menggerogi kekayaan Negara dan menipu raktay diabaikan! Daripada sibuk mengurusi ideologi mending mengurusi koruptor yang jelas-jelas merugikan Negara.
Lalu, kenapa tiba-tiba isu PKI kembali menyeruak menjelang pilpres 2014? Jokowi dan partai pengusungnya dituduh sebagai Komunis yang harus dihindari. Kok, jadi seperti zaman orba, apakah ini berarti pertanda,  ada orang-orang orba yang sedang melancarkan serangan kampanye hitam demi menggagalkan JOKOWI menuju RI-1? Entahlah,…Bagi saya, JOKOWI PKI, PDIP sarang PKI itu fitnah konyol yang lahir dari sebuah paranoid orang lama. Dan orang-orang lama ini sepertinya tidak mau paranoid sendirian, mereka menyebarkan paraoidnya ke banyak orang, sehingga terjadilah paranoid massal terhadap komunisme.


PDIP, Tiongkok, dan Paranoid akan Komunisme

PDIP sebagai partai pengusung Jokowi dihajar black campaign atas tuduhan sarang PKI. TVOne salaah satu media milik Bakrie Group dituding telah menyebarkan fitnah terhadap kader PDI Perjuangan sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberitaan brutal itu pun memicu kekecewaan orang-orang PDIP, termasuk relawan dan para pendukung Jokowi. Kekecewaan itu pun memicu aksi anarkis beberapa relawan dan pendukung Jokowi di Yogyakarta dan Jakarta,  dimana diberitakan sekelompok relawan dan partai pendukung Jokowi menggeruduk dan menyegel kantor TVOne. Saya yakin, sangat  yakin tidak mungkin Jokowi juga Megawati memberikan instruksi untuk melakukan tindakan konyol ini. Apa untungnya, toh tindakan ini justru hanya akan mencoreng citra PDIP dan Jokowi. Lagi-lagi, itu reaksi spontan para relawan dan pendukung yang merasa diserang habis-habiskan oleh TVOne. Tuduhan itu sangat-sangat keji. Tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Tapi saya sebagai pendukung Jokowi juga sangat menyayangkan tindakan itu.
Di era pascareformasi ini masih saja muncul paranoid akan komunisme di Indonesia, yang kemudian dihubung-hubungkan dengan Tiongkok. Ini sebuah pemikiran yang sangat absurd. Ironisnya sebagian masyarakat Indonesia yang terlanjur dicekoki pemikiran atau doktrin-doktrin bahaya PKI  dengan kalimat-kalimat lebay "waspadaai bahaya laten komunis", "awas komunis bangkit lagi", "tidak beragama = komunis", dan juga pendapat serta pemikiran bahwa PKI itu kejam, sadis, dan stigma lainnya yang tidak berdasar.

Karena saking takutnya dikaitkan dengan G-30-S, semua lapisan masyarakat seolah mengiyakan anggapan bahwa komunis itu jahat luar biasa, dan ini berimbas kepada pandangan masyarakat luas terhadap etnis Tionghoa.
Menghubungkan PKI dengan Tiongkok adalah pemahaman usang dan paranoid serta mengada-ada. Siapa pun di dunia ini bisa melihat bahwa tidak ada setitik pun sisa praktek komunisme di Tiongkok dalam kehidupan bermasyarakat, berekonomi, bernegara, bersosialisasi.

#SALAM 2 JARI. YUK RAMAI-RAMAI PILIH JOKOWI!!!!