Situasi Menjelang Pilpres Yang Memanas
Pilpres semakin dekat, suasana politik semakin panas. Black campaign
dengan isu-isu SARA banyak dihembuskan, fitnah-fitnah bertebaran tanpa ada yang
tahu siapa yang pertama menghembuskannya. Saya memilih tidak mengatakan capres
siapa yang lebih banyak difitnah dan diserang isu SARA dan fitnah, karena
kenyataan masing-masing capres merasa difitnah dan merasa didzolimi. Ketika
kubu Jokowi mengatakan kasihan Pak Jokowi difitnah terus, maka perlawanan dr
pendukung Pak Prabowo pun tak kalah seru, bahkan tak jarang yang menuduh semua
rekayasa pendukung Jokowi, biar dikasihani, biar terlihat terdzolimi, dan
seperti itu terus bergulir, sampai-sampai terlihat ruwet, siapa yg benar siapa
yang salah, semua menjadi abu-abu.
Jokowi Kalah Pilpres Akan Terjadi
Chaos di Indonesia
Sebetulnya, Prabowo atau Jokowi
sama-sama layak menjadi presiden. Mereka berdua sama-sama putra terbaik bangsa.
Prabowo maupun Jokowi, Sebagai negarawan sudah pasti tidak perlu
diragukan lagi intelektualitas dan kemampuannya dalam mengendalikan emosi
(baca: pengendalian diri). Namun, bagaimana dengan timses, simpatisan, dan
follower masing-masing capres? Siapa yang bisa menjamin simpatisan dan follower
masing-masing capres untuk bisa patuh terhadap capres yang mereka dukung?
Mereka berjumlah jutaan, bayangkan jutaan! Jutaan orang dengan berbagai latar
belakang keluarga, pendidikan, sosial, dan budaya tentulah mereka memiliki
karakter sangat beragam.
Dua hari lalu, sy membaca berita berjudul “Romo Magnis : Jokowi Kalah
Pilpres Akan Terjadi Chaos di Indonesia “ di sebuah media online. (http://www.voa-islam.com/read/opini/2014/06/27/31186/romo-magnis-jokowi-kalah-pilpres-akan-terjadi-chaos-di-indonesia/#sthash.wRH2HiGL.dpbs
) Menurut saya berita itu provokatif, bermuatan menyudutkan capres Jokowi. Sebab, secara implisit kalimat dalam berita
itu mengatakan bahwa Jokowi atau pendukungnya akan tidak terima dengan
kekalahan dan membuat chaos. Kalimat
ini bahaya, karena bisa dijadikan celah bagi kubu lawan Jokowi untuk dipelintir
menjadi anggapan negatif, mereka bisa mengatakan kepada masyarakat bahwa, pendukung Jokowi brutal, anarkis, nanti bisa
bikin onar jika kalah. Padahal jika kita mau berpikir jernih, siapapun yang kalah, Jokowi ataupun Prabowo,
semua berpotensi menimbulkan chaos. Seperti saya katakan di muka, Prabowo
baik….Jokowi baik, tp siapa yang bisa mengendalikan masing-masing pendukung
capres yang jutaan itu, dimana mereka memiliki karakter yang beragam? Namun,
rasanya sangat tidak adil, bila anggapan potensi terjadinya chaos hanya
ditujukan kepada kubu Jokowi.
Usai membaca berita itu,
saya sempat menulis status di dinding facebook, intinya mengatakan bahwa siapapun
capres yang kalah kemungkinan chaos ada, karena masing-masing capres memiliki
jutaan followers dengan beragam karakter, dan sini baik Prabowo maupun Jokowi
saya yakin tak ada yang mampu mengendalikan orang sebanyak itu. Di akhir
postingan sy sempat menyisipkan harapan, siapapun yang menang nantinya semoga
pilpres berjalan lancar, aman, dan damai.
Ada beberapa komentar dari
teman yang mendukung Prabowo maupun Jokowi, biasalah….namanya manusia beda
pendapat pasti ada. Demikian pula orang-orang yang sempat meninggalkan
komentar. Saat mulai muncul indikasi gesekan pendapat antar komentator, muncullah
seorang teman yang turut berkomentar, “Jangan
dipostinglah berita itu, aku tahu kamu tidak rela, tp tindakanmu memposting
berita sampah dari media abal-abal kayak gitu, sama saja kamu menyiram api
unggun dengan minyak tanah, cuma memperbesar api!” Saya pun akhirnya
menghapus postingan itu.
Dibilang tidak rela, ya mungkin tidak rela. Karena saya sendiri
telah menentukan pilihan kepada Jokowi-JK pada tanggal 9 Juli mendatang. Meski
sebetulnya, sebelumnyaa saya suka dengan Prabowo, dan mengharap dia jadi
presiden. Saat dia maju jd wapres
berpasangan dengan Megawati dulu, saya pun memilihnya. Di pileg kemarin semua
suara saya berikan pada caleg Gerindra, meski saya tak kenal siapa mereka. Itu
karena sudah lama sy mempunyai harapan kepada Prabowo. Harapan agar beliau bisa
jd presiden, bukan harapan agar dia jadi lelaki saya sehingga sy bisa jadi ibu
Negara, sebagaimana pernah dikatakan oleh Adian Napitupulu. Bukan itu! Serius!!
Saya Ini Seorang Jokower
Jujur, saya ini seorang
Jokower. Saya mulai berpaling ke Jokowi-JK semenjak koalisi tenda besar
dibentuk. Saya tak akan menuliskan
alasannya, mengapa saya memilih Jokowi-JK. Apa yang sudah pernah dituliskan
teman-teman mengenai alasan mereka, mengapa memilih Jokowi sudah mewakili
alasan-alasan saya. Diantara alasan-alasan mereka ada satu tulisan yang paling
mewakili pandangan dan pemikiran saya, sekira 95% sama dengan alasan-alasan
saya, yaitu alasan Beny Raharjo yang ditulis dalam blog pribadinya. Alasan-alasan itu dituangkan dalam tulisannya
yang berjudul Refleksi: Jokowi tidak layak jadi Presiden? (silakan baca linknya di
http://www.raharjo.org/kang-jokowi-tidak-layak-jadi-presiden.html)
Pesan Panjang Menjelang Subuh
Menjelang pagi
selepas makan sahur, saya sempat tengok facebook. Ada sebuah pesan panjang di
inbok, dari salah seorang teman yang sempat ikut berkomentar di status yang
sudah saya hapus. Pesan panjang itu ternyata kutipan dari berita di inilah.com.
Bunyinya sebagai berikut:
Pakta Atau Pitonah Doi PKI, Yang
Pasti Jangan Beri Peluang Komunis Berkuasa! Dalam masa kampanye Pilpres ini ada
beberapa peristiwa yang dapat dinilai sebagai indikasi bangkitnya komunis PKI
di Indonesia. Peristiwa tersebut dapat ditelusuri sejak Oktober 2002. Saat itu,
kader PDIP Ribka Tjiptaning menulis buku dengan judul yang sangat provokatif
'Aku Bangga Jadi Anak PKI'. Menyusul kemudian Juni 2010, pertemuan anak PKI
dari berbagai kota yang turut dihadiri oleh anggota DPR RI dari Fraksi
PDI-Perjuangan, Rieke Dyah Pitaloka di Banyuwangi, Jawa Timur. Terakhir
dikabarkan anak eks-PKI terbang ke China guna belajar politik dari partai
komunis di sana. "Sepertinya komunisme sedang lakukan rekonsolidasi secara
serius dan terencana di Indonesia," ujar mantan Aster Kasad Mayjen TNI
Purn Prijanto di Jakarta, Minggu (29/6/2014). Menurutnya, istilah petugas
partai yang disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi
juga dinilai modus komunisme. Sebab, istilah petugas partai mirip dengan
pekerja partai yang pernah digunakan tokoh PKI DN Aidit. "Dalam otak orang
PKI, Babinsa adalah salah satu dari '7 Setan Desa' yang harus dimusnahkan. Adu
domba, saling fitnah, lempar isu sembunyi tangan, mengobok-obak institusi TNI
AD mirip dengan suasana kebatinan saat PKI akan lakukan kudeta tahun
1965," kata mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2007-2012 tersebut.
Menurut Prijanto, pelan-pelan rakyat dijauhkan dari TNI di saat yang sama
alutsista TNI dilemahkan. "Tank Leopard yang dibutuhkan TNI AD ditolak.
Dalam sejarah, TNI-AD memang adalah musuh bebuyutan komunis-PKI. Sepertinya ada
aktor tertentu yang secara terbuka ataupun tersembunyi memanfaatkan kebebasan
dalam Pilpres untuk memfitnah dan adu domba. Ada apa? Siapa yang
bermain?," jelas dia. Dia menjelaskan, rangkaian petistiwa tersebut patut
dinilai komunis PKI menggeliat. Ancaman laten komunis sangat nyata, perlu kita
waspadai. "Bagi saya hanya satu kalimat yang paling tepat, jangan pernah
beri peluang untuk komunis berkuasa di Indonesia," tandasnya.
Sumber: inilah.com
Menurut pendapatmu bagaimana Rantinah Sastra?
Saya tidak langsung membalasnya karena, pertanyaan itu butuh penjelasan
panjang. Kalau langsung saya jawab dengan singkat khawatir malah menimbulkan
kesalahpahaman. Dan, saya ingin
membalasnya di sini.
- Jangan Beri Peluang Komunis Berkuasa!
- Dalam masa kampanye Pilpres ini ada beberapa peristiwa yang dapat dinilai sebagai indikasi bangkitnya komunis PKI di Indonesia. Peristiwa tersebut dapat ditelusuri sejak Oktober 2002. Saat itu, kader PDIP Ribka Tjiptaning menulis buku dengan judul yang sangat provokatif 'Aku Bangga Jadi Anak PKI'.
#Dalam pilpres saat
ini, saya amati cara pandang masyarakat terbagi menjadi dua, yaitu pandangan positif dan pandangan negatif.
Kelompok masyarakat dengan pandangan positif, cenderung menyikapi positif
(baca: positive thinking) setiap
hal/kejadian, termasuk hal-hal/kejadian yang sebenarnya tidak diharapkanya.
Efeknya, adalah rasa kepercayaan kepada orang lain yang berbeda pandangan.
Mereka lebih memilih berpikir positif dan mengesampingkan pikiran “ah…jangan-jangan…ah….jangan-jangan
nanti….”.
Beri dulu
kesempatan, kita lihat hasilnya. Bila tidak sesuai
harapan, baru kita tuntut dan adili ramai-ramai.
Lain halnya dengan kelompok yang cenderung berpikir
negatif, “ah…….jangan -jangan….nanti….”. Fatalnya, kelompok ini tidak jarang
seperti diserang paranoid (gangguan mental yang ditandai dengan kecurigaan yang
tidak rasional/logis). Misalnya, istilah ‘capres boneka’. Menurut saya istilah
ini lahir dari kelompok pendukung prabowo yang cenderung berpikir negatif.
Berawal dari opini yang sebenarnya belum tentu kebenarannya, tapi
digembar-gemborkan seolah itu benar dan pasti. Opini ini pun berkembang,
disampingkan dari orang ke orang, apalagi yang menyampaikan orang yang cukup
berpengaruh, orang awam pun menganggap itu benar dan pasti. Akibatnya
terjadilah paranoid massal. Ini istilah saya saja. Kalau orang berpikir
positif, tidak akan muncul istilah ‘capres boneka’, paranoid berpotensi mendorong individu
melakukan tindakan nekat, termasuk melakukan black campaign.
Bagi kelompok yang berpikir positif
pasti akan berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan lain. Mengapa PDIP
mencalonkan Jokowi? Bukankankah secara tradisi kepartaian ketum yang biasa
nyapres? Jawabannya jelas! Menjelang pemilu, banyak survei capres yang
menyatakan Jokowi pantas jadi presiden. Presiden itu kan pilihan atau aspirasi
rakyat, jika memang hasil survei menyatakan Jokowi banyak diharapkan rakyat
untuk jadi presiden, bukankah sudah tepat keputusan Megawati? Lalu, kenapa
mendadak orang-orang dari kubu Prabowo menjadi paranoid dengan nyapresnya
Jokowi?
Kelompok pendukung dengan kecenderungan berpikir positif dan negatif pun
ada di kubu Jokowi. Contoh : Reaksi pendukung Jokowi terhadap koalisi tenda
besar. Pendukung Jokowi dengan kecenderungan berpikir positf, tidak begitu
ambil pusing dengan koalisi itu. Meskipun dengan mudah logika mengatakan,
koalisi tenda besar justru memungkinkaan Prabowo dijadikan boneka partai
pendukung, yang sudah menyumbangkan massa pemilih untuk memenangkannya.
Apalagi, bila mengerti prinsip dan paham yang digembar-gemborkan pentolan-pentolan
partai pendukung Prabowo, yang selama ini nyata-nyata bertentangan dengan
pluralisme dan intoleransi terhadap minoritas, sementara Prabowo mengklaim
menghargai pluralism. Bagi mereka yang berpikiran positif pun menahan diri, ah
sudahlah…mudah-mudahan Prabowo tidak seperti yang saya khawatirkan,
mudah-mudahan Prabowo tetap bisa tegas jika terpilih nanti. Mereka pun tetap
kalem, yang penting tanggal 9 nanti saya coblos no.2, siapapun yang menang,
mudah-mudahan membawa kebaikan bagi bangsa Indonesia. Bagi pendukung Jokowi dengan kecenderungan
berpikir negatif, kekhawtiran itu tidak berhenti sampai di situ, mereka bisa
menjadi paranoid sehingga melakukan black campaign dengan menyebarkan isu-isu
atau opini-opini yang sebenarnya belum tentu benar/pasti, maklum muncul dari
pikiran negatif. Karena masing-masing
kubu memiliki pendukung dengan kecenderungan berpikir negatif, terjadilah aksi
saling serang kampanye hitam, saling berbalas-balasan, bertambahlah ruwet
suasana politik dunia maya maupun politik dunia nyata.
Berangkat dari adanya pendukung berpikiraan positif dan negatif tersebut,
saya akan membahas mengenai Ribka Tjiptaning dan bukunya yang
berjudul 'Aku Bangga Jadi Anak PKI'. Buku yang sempat dicekal dan dilarang
disebarluaskan Karena dinilai sebagai
media propaganda/menyebarkan faham komunisme di Indonesia. Dan, sekarang
diangkat ke publik karena kebetulan Ribka adalah seorang anggota legislatif
dari PDIP. Hal ini dianggap pendukung kubu Prabowo, sekali lagi sy katakan
pendukung, bukan pak Prabowo, sebagai bahan menjatuhkan elektabilitas Jokowi,
yaitu dengan melemparkan tuduhan bahwa PDIP sarang PKI, selanjutnya tuduhan pun
menyerang Jokowi, Jokowi PKI. Tuduhan Ribka penyebar faham komunis, dan PDIP
sarang PKI, dan Jokowi PKI itu pastilah muncul dari kelompok pendukung prabowo
yang cenderung berpikiran negatif, atau malah paranoid? Sebab, saya yakin,
orang yang berpikir positif tidak pernah terjangkiti paranoid. Mereka cenderung
mencari tahu kebenaran informasi yang diterimanya.
Judul Bombastis Dalam Dunia Penerbitan Buku itu Biasa
Dalam industri kreatif, termasuk industri penerbitan
buku membuat judul bombastis itu hal biasa. Karena, ini merupakan salah satu
strategi penjualan produk. Saat sebuah penerbit memiliki buku dengan isi bagus
tetapi omzet penjualan rendah, maka penerbit dapat merenovasi tampilan cover
buku tersebut, termasuk mengubah judul buku dengan yang lebih menarik, meski
dinilai bombastis. Bukankah saat akan membeli buku di toko, tampilan kulit yang
pertama kali dilirik pembeli. Judul bombastis tentu menarik, meski isi belum
tentu sesuai judul. Saya pun berpikir positif terhadap buku “Aku Bangga Jadi
Anak PKI.” Judul itu terdengar bombastis dan kontroversial, karena segala hal
berkaitan PKI masih menjadi isu sensitif di Negeri ini. Jadi, judul ‘Aku Bangga
Jadi Anak PKI’ dinilai penerbit akan menarik dan kontroversial. Akibatnya buku
tersebut akan banyak diperbincangkan orang, semakin sering diperbincangkan,
semakin banyak orang mencari dan ingin membelinya. Dan, terbukti!
Sebelum mengetahui isinya, aku sudah berpikir positif
mengenai isi buku itu. Dugaanku, buku itu berisi kisah perjalanan hidup Ibu
Ribka yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang dan ajaran-ajaran kedisiplinan
dari ortunya yang dulu dicap PKI, nilai-nilai positif itulah yang diangkat ibu
Ribka, yang menjadikannya bangga karena berkat didikan orang tuanya kini ia
bisa menjadi seorang dokter, bahkan anggota legislatif di Senayan. Terlepas
ortu seorang PKI atau bukan, salahkah bila seorang anak merasa bangga dengan
didikan orang tuanya, yang karena didikannya itu bisa membawanya pada sebuah
kesuksesan? Saya sebagai anak seorang kuli bangunan tamatan SD yang dulu senang
berjudi pun bisa mengisahkan kebanggaan sy pada orang tua yang berhasil
memberikan pendidikan sampai perguruan tinggi. Lalu, membuat buku berjudul
bombastis “Aku Bangga, Jadi Anak Penjudi”.
Dugaan saya pun terjawab, Ketua DPP PDIP Budiman Sudjatmiko menjelaskan, buku 'Aku Bangga Jadi Anak PKI' yang ditulis Ribka Tjiptaning hanya berupa memoar perjalanan hidup dan bukan penyebaran ajaran terlarang.
"Buku itu kan isinya memoar perjalanan hidup yang ditulis apa adanya, semua orang boleh membuatnya terlepas apapun latar belakangnya. Mantan teroris juga boleh bikin memoar hidup," ujar Budiman. (http://nasional.inilah.com/read/detail/655221/fpi-keliru-buku-ribka-tak-ajarkan-komunisme#.U7b4K5SSzg9) Lebih detailnya, silakan berburu bukunya. (bukan promosi, serius!)
"Buku itu kan isinya memoar perjalanan hidup yang ditulis apa adanya, semua orang boleh membuatnya terlepas apapun latar belakangnya. Mantan teroris juga boleh bikin memoar hidup," ujar Budiman. (http://nasional.inilah.com/read/detail/655221/fpi-keliru-buku-ribka-tak-ajarkan-komunisme#.U7b4K5SSzg9) Lebih detailnya, silakan berburu bukunya. (bukan promosi, serius!)
- Menurutnya, istilah petugas partai yang disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi juga dinilai modus komunisme. Sebab, istilah petugas partai mirip dengan pekerja partai yang pernah digunakan tokoh PKI DN Aidit.
#Lagi-lagi ini juga sebuah paranoid yang bersumber
dari pikiran negatif, entah siapa orang pertama yang menggulirkannya. Coba
cermati kalimat baik-baik.
- ‘Menurutnya istilah petugas partai yang disampaikan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri kepada Jokowi juga dinilai modus komunisme’.
- "Dalam otak orang PKI, Babinsa adalah salah satu dari '7 Setan Desa' yang harus dimusnahkan. Adu domba, saling fitnah, lempar isu sembunyi tangan, mengobok-obak institusi TNI AD mirip dengan suasana kebatinan saat PKI akan lakukan kudeta tahun 1965," kata mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tahun 2007-2012 tersebut. Menurut Prijanto, pelan-pelan rakyat dijauhkan dari TNI di saat yang sama alutsista TNI dilemahkan. "Tank Leopard yang dibutuhkan TNI AD ditolak. Dalam sejarah, TNI-AD memang adalah musuh bebuyutan komunis-PKI. Sepertinya ada aktor tertentu yang secara terbuka ataupun tersembunyi memanfaatkan kebebasan dalam Pilpres untuk memfitnah dan adu domba. Ada apa? Siapa yang bermain?," jelas dia. Dia menjelaskan, rangkaian petistiwa tersebut patut dinilai komunis PKI menggeliat. Ancaman laten komunis sangat nyata, perlu kita waspadai. "Bagi saya hanya satu kalimat yang paling tepat, jangan pernah beri peluang untuk komunis berkuasa di Indonesia," tandasnya
Doktrin
tentang komunisme ini masih saya rasakan sewaktu duduk di bangku SMP juga SMA,
di mana pernah mendapati seorang guru berkata “Semua murid wajib ikut upacara,
yang tidak ikut berarti PKI.” Demikian ucap seorang guru saat mengumumkan akan
diadakannya upacara peringatan hari kesaktian pancasila. Betapa mudahnya melabeli
PKI hanya karena tidak ikut upacara. Saya tidak termasuk murid yang malas
mengikuti upacara, tetapi dalam hati waktu itu berontak. Pak Guru terlalu
berlebihan, lebay dalam bahasa anak sekarang. Coba bayangkan, kita yang tidak
tahu apa-apa tentang PKI, bahkan tidak melakukan sesuatupun yang berkaitan
dengan PKI, tiba-tiba dicap PKI hanya karena tidak ikut upacara hari kesaktian
pancasila. Bayangkan!
“Waspadai
Bahaya Laten PKI” demikian sy pernah menemui bunyi sebuah stiker, bahkan
sewaktu masih SMU dalam rangkaian peringatan hari bahasa Indonesia pernah saya
mengikuti lomba menulis di sekolah dengan tema yang tidak jauh dari
G.30.S./PKI. Kalau tidak salah waktu itu “Mewaspadai dan Mencegah Bahaya Laten
PKI”.
Paranoid
terhadap isu bahaya laten PKI di era saat ini apa masih penting, sih? Hal yang belum tentu terjadi tetapi
dikhawatirkan terlalu berlebihan. Sebaliknya, bahaya laten korupsi yang jelas-jelas
telah menggerogi kekayaan Negara dan menipu raktay diabaikan! Daripada sibuk
mengurusi ideologi mending mengurusi koruptor yang jelas-jelas merugikan
Negara.
Lalu, kenapa
tiba-tiba isu PKI kembali menyeruak menjelang pilpres 2014? Jokowi dan partai
pengusungnya dituduh sebagai Komunis yang harus dihindari. Kok, jadi seperti
zaman orba, apakah ini berarti pertanda,
ada orang-orang orba yang sedang melancarkan serangan kampanye hitam
demi menggagalkan JOKOWI menuju RI-1? Entahlah,…Bagi saya, JOKOWI PKI, PDIP sarang PKI itu fitnah konyol yang lahir
dari sebuah paranoid orang lama. Dan orang-orang lama ini sepertinya tidak
mau paranoid sendirian, mereka menyebarkan paraoidnya ke banyak orang, sehingga
terjadilah paranoid massal terhadap komunisme.
PDIP, Tiongkok, dan Paranoid akan Komunisme
PDIP
sebagai partai pengusung Jokowi dihajar black
campaign atas tuduhan sarang PKI. TVOne salaah satu media milik Bakrie
Group dituding telah menyebarkan fitnah terhadap kader PDI Perjuangan sebagai
anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Pemberitaan brutal itu pun memicu
kekecewaan orang-orang PDIP, termasuk relawan dan para pendukung Jokowi.
Kekecewaan itu pun memicu aksi anarkis beberapa relawan dan pendukung Jokowi di
Yogyakarta dan Jakarta, dimana
diberitakan sekelompok relawan dan partai pendukung Jokowi menggeruduk dan menyegel
kantor TVOne. Saya yakin, sangat yakin tidak
mungkin Jokowi juga Megawati memberikan instruksi untuk melakukan tindakan
konyol ini. Apa untungnya, toh tindakan ini justru hanya akan mencoreng citra
PDIP dan Jokowi. Lagi-lagi, itu reaksi spontan para relawan dan pendukung yang
merasa diserang habis-habiskan oleh TVOne. Tuduhan itu sangat-sangat keji. Tidak
akan ada asap kalau tidak ada api. Tapi saya sebagai pendukung Jokowi juga
sangat menyayangkan tindakan itu.
Di era pascareformasi ini
masih saja muncul paranoid akan komunisme di Indonesia, yang kemudian dihubung-hubungkan dengan
Tiongkok. Ini sebuah pemikiran yang sangat
absurd. Ironisnya sebagian masyarakat Indonesia yang terlanjur dicekoki
pemikiran atau
doktrin-doktrin bahaya PKI dengan kalimat-kalimat lebay "waspadaai bahaya laten komunis", "awas komunis bangkit lagi",
"tidak beragama = komunis", dan juga pendapat serta pemikiran bahwa
PKI itu kejam, sadis, dan stigma lainnya yang tidak berdasar.
Karena saking takutnya
dikaitkan dengan G-30-S, semua lapisan
masyarakat seolah mengiyakan anggapan bahwa komunis itu jahat
luar biasa, dan ini berimbas kepada pandangan masyarakat luas terhadap etnis
Tionghoa.
Menghubungkan PKI dengan Tiongkok
adalah pemahaman usang dan paranoid serta mengada-ada. Siapa pun di dunia ini
bisa melihat bahwa tidak ada setitik pun sisa praktek komunisme di Tiongkok
dalam kehidupan bermasyarakat, berekonomi, bernegara, bersosialisasi.
#SALAM 2 JARI. YUK RAMAI-RAMAI PILIH JOKOWI!!!!