Senin, 25 Juni 2012

Cucu Pengusaha ‘Setip’




Ah, emakku ternyata kreatif, lebih tepatnya mungkin KERE-AKTIF, jadi aktif karena tak mampu beliin karet penghapus anaknya, xixixixixixixi. Jadi tahu dah, ternyata emakku penganut falsafah ‘TAK ADA ROTAN AKAR PUN JADI, tak ada setip sandal jepit pun jadi.’



Cerita ini terjadi waktu aku duduk di kelas 2 SD, berawal saat aku kehilangan karet penghapus atau yang dalam bahasa lokal kami disebut setip. Suatu sore emak membimbingku mengerjakan PR matematika. Beberapa kali aku salah menulis angka, aku pun mencari karet penghapusku. Aku cari di tempat pensil, di tas, dan di seluruh saku tambahan tas, tapi tak aku temukan. Singkatnya, karet penghapusku hilang. Entah terjatuh saat masih di ruang kelas, dalam perjalanan pulang, di pinjam teman tapi tak bilang-bilang, atau aku hanya lupa memasukkan kembali ke tas. Emak sempat bersungut-sungut juga, karena ini bukan kali pertama aku kehilangan alat tulis. Emak beranjak pergi sambil mengomel,  meninggalkanku sendiri di meja ruang tamu. Aku memang biasa belajar di ruang tamu, maklum tidak punya meja belajar sendiri waktu itu.

Tak seberapa lama emak sudah kembali di sampingku. Disodorkannya sebuah benda kenyal seukuran ibu jari sambil berkata, “Sementara pakai ini dulu untuk menghapus”. Aku amati baik-baik karet penghapus pemberian emak. Bentuknya unik tidak seperti karet penghapus pada umumnya. Rasa-rasanya kok seperti potongan karet sandal jepit ya, pikirku saat itu. Akupun bilang pada emak, “Kok seperti karet sandal jepit, Mak.” Emak pun tertawa sambil berujar, “memang itu karet sandal jepit, Emak potongkan dari sandal jepitmu yang sudah putus talinya itu.” “Emang bisa untuk menghapus, Mak?” tanyaku polos, yah maklumlah anak-anak. “Bisalah, setip kan dibuat dari karet, jadi karet sandal jepit pun bisa digunakan untuk menghapus tulisan pensilmu, termasuk karet gelang yang biasa digunakan untuk mengikat es lilin itu, bisa digunakan sebagai setip.” Tanpa ba-bi-bu, aku coba menggunakan karet penghapus made in emak itu, sik...isik....isik......eitts....benar juga kata emak nih, karet sandal jepit bisa dipakai untuk menghapus tulisan pensilku, meski tak selunak dan seenak karet penghapus yang dijual di toko. Ah, emakku ternyata kreatif, lebih tepatnya mungkin KERE-AKTIF, jadi aktif karena tak mampu beliin karet penghapus anaknya, xixixixixixixi. Jadi tahu dah, ternyata emakku penganut falsafah ‘TAK ADA ROTAN AKAR PUN JADI, tak ada setip sandal jepit pun jadi.’ Duh, emak aku jadi terenyuh nih ingat dedikasimu dulu. I LOVE YOU FOREVER MAK!!!!

Begitulah, hingga suatu ketika ada teman yang kehilangan karet penghapus di kelasku. Aku pikir inilah saat tepat untuk berbagi ilmu yang sudah emak transfer kepadaku. Aku dekati teman yang kehilangan karet penghapus. Kebetulan waktu itu ada juga beberapa teman yang sedang berkumpul. Saat sudah berada diantara teman-teman, tiba-tiba aku berubah pikiran. Sifat anak-anakku muncul, yaitu sifat keegoan, ingin menonjol dan tak mau kalah dengan yang lain. “Setip-mu hilang, ya?” tanyaku pada Wulan, teman yang kehilangan setip-nya. Wulan hanya mengangguk. “Besok aku bawakan setip ya,” ujarku pada Wulan. “Emang kamu punya setip banyak di rumah?” tanya Wulan. “Iya, aku di rumah masih punya banyak setip,” jawabku. “Aku juga dibawain satu dong,” ucap temanku yang lain, “Aku juga ya, bawain satu,” ucap beberapa teman lainnya. “Oke deh, besok takbawain. Di rumah kakekku kan ada setip banyak,” ucapku ala anak-anak tentunya kala itu. “Kakekmu jualan setip, ya?” tanya seorang teman. “Hmmmm, nggak sih. Kakekku bisa buat setip sendiri kok,” jawabku. “Oh, kakekmu pengusaha setip, ya?” tanya teman yang lain. “Ya, begitulah,” jawabku. Gila! Aku sudah mengaku sebagai cucu pengusaha setip. Padahal setip yang aku maksud adalah setip made in emak, alias potongan dari sandal jepit bekas. Duhh, apa kata teman-teman nanti ya. Uhh salah sendiri ngapain juga harus mengaku cucu pengusaha setip, dasar anak-anak! LOL




Kulkas Baru


Di ruang tamu kami celingak-celinguk (ala anak-anak) mencari keberadaan itu kulkas. Lalu, seorang teman dengan muka antagonis ala anak-anak bertanya, “mana kulkasmu?” Vivin pun menjawab, “Hmm kulkasnya masih disimpan di lemari  kok sama ibuku.



Waktu itu aku masih duduk di kelas 2 SD. Kebiasaan setiap jam istirahat aku dan teman-teman berkumpul di samping sekolah, tepatnya di warung sederhana milik Mbok Mbon begitu kami biasa memanggilnya. “Mbok Mbon” sebenarnya panggilan untuk istri tukang kebun atau penjaga sekolah. Aku sendiri tidak tahu kenapa ibu itu dipanggil Mbok Mbon sedangkan dia sendiri bukan istrinya Tukang Kebun, ah mungkin kebiasaan aja kali ya, di sekolah-sekolah lain biasanya klu suami tukang kebun terus si istri berjualan di sekolah. Begitulah, sehingga terjadi salah kaprah, di sekolahku meskipun penjualnya bukan istri tukang kebun tetap saja dipanggil Mbok Mbon.

Kembali ke cerita aku tadi ya. Suatu hari temanku yang bernama Indri cerita kalau ia punya kulkas baru. Dia menceritakan dengan bangga sekali, maklum aja kami sekolah di desa. Apalagi masa itu, kulkas masih menjadi barang mewah bagi aku dan teman-temanku yang rata-rata ekonomi menengah kebawah. Masa itu, dibandingkan dengan teman-teman lain termasuk aku, Indri memang terlihat lebih bersih, barang-barang miliknya pun serba bagus dan bermerek. Pada saat bersamaan, Vivin seorang teman dari kelas tiga yang juga sering bermain bersama kami datang dan ikut menimbrung. Mendengar Indri punya kulkas baru, ia tak mau kalah. “Aku di rumah juga punya kulkas baru,” begitu ucap Vivin. “Ah, masak? Kapan belinya kemarin aku ke rumahmu ga ada kulkas.” Ucap seorang teman. “Kemarin, beli di Kartasura.” Jawab Vivin. “Nanti pulang sekolah boleh main ke rumahmu nggak, nanti dilihatin kulkasmu yah?” ucap seorang teman yang lain.

Akhirnya, sepulang sekolah aku dan tiga teman lain main ke rumah Vivin. Di ruang tamu kami celingak-celinguk (ala anak-anak) mencari keberadaan itu kulkas. Lalu, seorang teman dengan muka antagonis ala anak-anak bertanya, “mana kulkasmu?” Vivin pun menjawab, “Hmm kulkasnya masih disimpan di lemari  kok sama ibuku. Waktu itu, kami pun percaya begitu saja. Dasar bodoh, mana ada orang nyimpen kulkas di lemari. Hahahhaa.



Senin, 18 Juni 2012

Sedikit Cerita dari E-KTP



Tadi malam, tepatnya Selasa 29 Mei 2012 aku menghadiri undangan rekam iris mata, sidik jari, dan pemotretan untuk pembuatan E-KTP di kantor Kecamatan Colomadu. Rupanya, hari itu memang khusus untuk melayani warga Gajahan, khusunya warga RW 003. 

Seperti yang aku duga, di situ aku akan bertemu dengan tetangga-tetanggaku, termasuk para tetangga yang dulu masih ingusan sekarang sudah jadi anak perawan, cantik-cantik, bahkan sudah ada yang bawa anak kecil. Pemuda-pemuda berbadan tegap yang sedikit-demi sedikit mulai aku ingat namanya, karena sebelum tadi malam, aku masih melihatnya sebagai anak-anak yang masih suka main sepakbola di gang kampung. Aku pun bertemu dengan beberapa ibu yang dulu tidak berkerudung tapi tadi malam tampil berkerudung, jadi pangling semua.  Maklum, karena aku sendiri selama ini tidak berdominisili di kampungku. Sejak SD sampai perguruan tinggi aku tinggal di rumah nenekku. Hingga akhirnya aku bekerja, dan tinggal di luar kota, praktis aku jarang sekali di rumah.


Diantara orang-orang yang aku temui itu, ada satu yang membuatku tergelitik, yaitu seorang perempuan sekitar 60an tahun yang nomor antriannya tepat di depanku. Waktu masih mengantri di luar aku masih biasa saja, walaupun sedikit mikir, ibu ini sudah tua tapi kok aku masih asing ya, hmmm mungkin pendatang baru yang tinggal di kompleks sebelah kampungku. Sampai akhirnya petugas menyebut nama dan alamat lengkapnya, “ Ir. Diah Haryanti Jl Adi Sucipto no 55 Tegal Mulyo Gajahan.”


Huff, aku terperangah, bukan karena pernah mengenal ibu itu sebelumnya. Tapi, kejadian ini menjawab satu pertanyaan yang sudah bertahun-tahun tersimpan dalam memoriku. Yah, dulu semasa aku masih duduk di bangku SD sekitar tahun 90an, saat sekitar Tegalmulyo belum banyak bangunan, di situ ada sebuah rumah bertingkat yang tampak megah dan mewah masa itu. Namun, pintu pagarnya selalu tertutup rapat. Setiap kali aku melintas di depan rumah itu, baik dengan teman-teman atau orang tuaku, aku selalu menyempatkan  menoleh ke rumah itu. Kagum! Pikirku waktu itu, hmmm siapa pemilik rumah itu, pasti orang kaya. Hingga akhirnya, aku pun bertanya pada ibuku, “bu, siapa sih yang punya rumah bercat putih, bertingkat, dan megah di Tegalmulyo itu?” Waktu itu ibuku menjawab, “Bu Diah, rumahnya jelas baguslah, orang dia seorang insinyur kok, kan seorang arsitek.” Begitu jawab ibuku saat itu. Dan, informasi tentang Bu Diah pun cukup sampai di situ. Waktu itu, aku hanya bisa membayangkan sosok Ibu Diah, pasti orang yang tinggi, putih, sexy, dan fashionable, seperti perempuan-perempuan tajir yang ada di sinetron.


Setelah dua dekade berlalu, rasa penasaran itu terjawab. Ir.Diah Haryanti si pemilik rumah mewah itu duduk di sampingku. Tidak tinggi tidak pula cantik, tapi fashionable, perhiasan yang dipakai serba gemerlap, berkulit bersih tapi muka dan tangannya sudah tampak keriput, jalannya pun agak tertatih. Bagaimana dua puluh tahun yang lalu ya? Ahhh!!!!!!!