Kamis, 24 Februari 2011

Mengapa Ada ‘Sastra’ di Belakang Namaku? (I)


Perihal  Embel-Embel 'Sastra' 
Beberapa orang pernah bertanya, “kamu seorang sastrawan ya?” Aku selalu menjawab, “bukan!”. Aku jawab ‘bukan’ orang masih bertanya, “Oh, kalau begitu apakah bapakmu bernama Sastro?”. Aku pun jawab ‘bukan’, sebab bapakku memang tidak bernama Sastro. Kakek-nenekku, dari pihak bapak maupun ibu tidak juga ada yang bernama Sastro. Mereka adalah Gito Pawiro (dari pihak ibu) dan Atmo Dikromo (dari bapak). Eyang buyut dari ibuku pun namanya bukan Sastro, melainkan ‘Setro’, lengkapnya Setro Dimejo bin Maidah. ‘Setro’ agak mirip ya dengan Sastra? hahahahahaha, ada-ada saja. Ini sih namanya maksa! Ya nggak? 


Oke, kembali ke Mengapa ada ‘Sastra’ di Belakang Namaku? Di surat lahir maupun akta kelahiran namaku tertulis ‘Rantinah’, tidak ada embel-embel apapun. Sebab, memang itulah nama asliku. Kata ibu, nama itu diberikan oleh kakekku. Lalu, dari mana itu dapat embel-embel ‘Sastra’? Ceritanya, waktu masih duduk di bangku kuliah, sekitar semester 5, aku mencoba bekerja di sebuah tabloid di Kota Semarang. Waktu itu aku bekerja sebagai reporter freelance. Dari sinilah embel-embel ‘Sastra’itu aku dapatkan. 

Pertama kali bekerja sebagai reporter aku diberi kartu identitas, semacam kartu pers begitulah. Aku wajib membawa kartu itu jika hendak meliput berita. Anom Sedyo Pranoto, yang waktu itu menjadi pemimpin redaksi menyerahkan kartu pers kepadaku. “Mbak, ini kartu pers jenengan, selalu dibawa ya kalau meliput,” kata Pak Anom, waktu menyerahkan. Aku terima dan aku amati kartu pers yang sudah berpindah ke tanganku. Pada kartu itu tertulis ‘Rantinah Sastra’. Seketika itu juga aku bertanya, “Pak, kok nama saya jadi Rantinah Sastra?”. Pak Anom pun menjelaskan, “Begini mbak, kebetulan semua rekan jurnalis di sini sarjana, mereka memakai gelar kesarjanaannya. Gelar itu bisa membangun kredibilitas masyarakat atau orang yang akan diwawancarai. Makanya, pada semua kartu pers gelar kami sertakan. Karena, mbak ranti belum memiliki gelar, maka saya tuliskan saja “Sastra’ di belakang nama jenengan, kan jenengan mahasiswa Fakultas Sastra dan Seni Rupa, bagaimana tidak keberatan, kan?”.
Aku pikir-pikir, masuk akal juga penjelasan Pak Anom ini. Ya, sudahlah, akhirnya aku terima nama itu dengan senang hati.
 

Belum Menemukan Embel-Embel yang Match untuk Rantinah
Akhirnya, ‘Sastra’ semakin melekat pada namaku. Aku pikir-pikir, sulit juga menemukan embel-embel nama yang match atau pas untuk aku letakkan di belakang namaku. Coba saja letakkan nama Safira, Hastuti, Solekah, Palupi, Subekti, atau Angelina. Nama-nama itu jika diletakkan di belakang namaku jadinya seperti ini:
• Rantinah Safira 
• Rantinah Hastuti
• Rantinah Solekah
• Rantinah Palupi
• Rantinah Subekti
• Rantinah
Angelina (ahhh, maksa!)
Kemudian, bandingkan nama-nama itu dengan nama Rantinah Sastra? Tidak lebih enak dibaca, kan? 
 
'Rantinah Sastra' Menjadi Nama Pena 
Bulan Juli 2003 saya berhenti bekerja sebagai reporter, dan mulai tanggal 27 Agustus di tahun yang sama saya bekerja sebagai editor pada perusahaan berbeda. 'Rantinah Sastra' masih sering aku gunakan untuk halaman copyright setiap buku yang aku edit. Rantinah Sastra juga masih aku pakai sebagai nama pena untuk beberapa buku yang tulis. 

Lepas dari semua itu, kebetulan aku ini suka dengan hal-hal yang berbau sastra. Aku suka puisi, suka cerpen, suka novel, dan tulisan apapun. Suka sastra tidak berarti mahir atau pandai berkarya sastra lho. Karena aku tidak pernah merasa pandai apalagi mahir. Meskipun membuat puisi, cerpen, dan naskah lakon pernah aku jalani, tapi itu hanya sebatas ingin bisa kemudian mencoba, dan bisa. Meskipun, orang sastra menilainya begini; “belum bisa menyentuh esensi ide yang hendak disampaikan, kurang menggelitik, atau ruh sastranya belum anjlep, mbak”. Ups, tapi menurutku penilaian ini sangat objektif. Sebab, aku pun masih merasa seperti itu, namun masih ada waktu buat belajar. Bila pun semua itu tidak tercapai, setidak-tidaknya aku sudah dapat berekspresi karena sesungguhnya ‘Seni dan Sastra’ adalah media berekspresi. Betul tidak?

Seperti apa kegilaanku kepada sastra bila digambarkan? Seperti apa ya? Aku pikir-pikir kok seperti kegilaan bangsa Indonesia pada Sepakbola, merasa tergila-gila, suka, dan gandrung, tetapi tidak memiliki prestasi apa-apa. Tapi ya nggak apa-apa, kan? Mungkin memang baru segitu tatarannya. 


Sebenarnya, aku masih memiliki cerita tentang namaku, tapi aku sudah capek nulis ini. Sambung lagi lain waktu yach? Sampai ketemu pada tulisan Mengapa Ada 'Sastra' di Belakang Namaku bagian II. Ai Lup Yu Pul, muach!!!!




Senin, 21 Februari 2011

Pergaulan Lesbian dan Exhibist Dalam Keluarga dan Masyarakat Jawa



A. Manusia Jawa dan Keluarga
Bentuk dasar sistem terminologi Jawa ialah bilateral dan generasional, bersisi dua dan turun temurun. Setiap orang Jawa melihat dirinya sendiri berada di tengah-tengah sebuah jajaran; kakek-nenek, bapak-ibu, kakak-adik, anak-anak dan cucu-cucu. Di samping itu, masih ada dua pembedaan, yaitu pembedaan senioritas dan jenis kelamin. Kemudian, oleh setiap orang Jawa semua itu dijadikan dasar dan dipakai untuk bersikap dalam berhubungan dengan ‘orang lain’. Orang lain yang dimaksudkan di sini ialah anggota keluarga, meliputi ayah-ibu, kakak-adik, atau kakek-nenek.

Keluarga ialah tempat merasakan rasa aman dan bebas, sebab di dalam masyarakat yang lebih luas individu berada di bawah tekanan terus-menerus. Tekanan yang dimaksud yaitu, tekanan untuk mengontrol dorongan-dorongan spontannya dan untuk menyesuaikan dengan berbagai otoritasnya. Satu-satunya ruang yang relatif bebas dari tekanan semacam itu adalah keluarga.

Bagi individu Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Dan, hubungan antaranggota keluarga diharapkan berlandaskan rasa tresna atau cinta.

B. Manusia Jawa Dalam Sosialitas

Secara psikologis, nilai ketergantungan dan perlindungan seorang anak berada dalam kelompok yang didukung oleh pengalaman awal sosialitasnya. Seorang anak mempunyai hubungan erat sekali dengan keluarganya, juga tergantung serta terlindungi oleh mereka, terutama oleh ibu. Ia ‘anak’ benar-benar tergantung kepada lingkungannya.

Dalam bukunya ‘Etika Jawa’, Magnis Suseno mengutip pandangan Hildred Geertz yang mengatakan bahwa ‘pendidikan mengenai kefasihan mempergunakan sikap-sikap hormat yang tepat itu tercapai melalui tiga perasaan yang dipelajari oleh anak Jawa dalam situasi-situasi yang mengharuskan sikap hormat (bagaimana seharusnya bersikap) terhadap orang lain. Ketiga perasaan itu adalah wedi (takut), isin (malu), dan pekewuh (sungkan).’

Wedi, isin, dan pekewuh merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap tuntutan-tuntutan prinsip hormat. Adanya tiga perasaan tersebut dalam hati seseorang menjadi indikator kematangan pribadi seseorang. Seseorang dianggap telah mampu menyesuaikan kelakuannya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat.

C. Studi Kasus: Pergaulan Seorang Lesbian Dalam Keluarga dan Masyarakat Jawa

Studi ini mengamati pergaulan seorang lesbian dalam keluarga dan masyarakat Jawa. Objek pengamatan ialah Erika, gadis 19 tahun, anak kedua dari tiga bersaudara. Bapak dan ibu Bambang, orang tua Erika tercatat sebagai orang yang cukup mapan. Pak Bambang bekerja sebagai perencana proyek di sebuah perusahaan kontraktor milik negara, sedangkan istrinya bekerja sebagai karyawan bank swasta. Karirnya pun cukup bagus, sehingga di usia 40an ibu Bambang sudah menjabat sebagai manager. Investasinya dalam bentuk tanah ada di beberapa tempat. Bahkan, ia memiliki usaha kos-kosan di Kota Solo dan Yogyakarta. Dua tahun yang lalu suami istri ini telah melaksanakan ibadah haji. Fifi anak pertamanya, telah lulus SMU dan melanjutkan S1 di Kanada.

Apa itu Lesbian?

Sebelum membahas lebih lanjut pergaulan seorang lesbian dalam keluarga dan masyarakat Jawa, kita kenali dulu yuk, apa itu lesbian? Istilah lesbian sudah cukup dikenal masyarakat, yaitu sebutan bagi seorang perempuan yang memiliki kecenderungan seksual menyimpang, dimana seorang perempuan tidak tertarik kepada lawan jenisnya (laki-laki) yang menjadi fitrahnya. Melainkan, justru tertarik kepada sejenisnya (sama-sama perempuan).

Kisah Erika sebagai Seorang Lesbian
Mari kita kembali ke kisah Erika. Menurut penuturan ibunya, dulu sewaktu mengandung ia sangat mendambakan anak laki-laki. Hingga akhirnya, Erika terlahir sebagai perempuan. Namun, sejak kecil kedua orang tua Erika memperlakukan Erika layaknya seorang anak laki-laki, baik dalam pakaian, mainan, maupun sikap atau cara memperlakukan Erika. Erika pun tumbuh dan berkembang menjadi gadis yang sangat tomboy. Sebagai seorang perempuan Erika sangat maskulin. Saat ini, jika anda atau siapa pun yang belum pernah mengenal Erika, kemudian tanpa sengaja bertemu Erika di jalan, tentu tak menyangka kalau ia seorang perempuan. Yup, secara fisik Erika benar-benar menyerupai seorang laki-laki. Bahkan, jika ia laki-laki dapat dikategorikan sebagai laki-laki tampan.

Erika menyukai sejenisnya. Ya, Erika seorang lesbian. Kedua orang tuanya sepertinya tidak tahu, atau tahu dan bersikap seolah-olah tidak tahu, ya? Entahlah. Di luar, Erika selalu berkenalan dengan perempuan sebagai seorang laki-laki bernama Erik. Erika memilih tidak menceritakan apa yang ia rasakan maupun ia alami kepada keluarganya karena rasa wedi dan isin.

Dalam kehidupan sehari-hari, Erika dapat bergaul dengan para tetangga dengan baik. Ia tak pernah mempersoalkan orang yang memanggilnya dengan embel-embel ‘mbak’. Semua itu karena ia memiliki rasa wedi, isin, dan pekewuh dengan para tetangga. Sikap Erika terhadap para tetangganya merupakan bentuk penyesuaian kepada masyarakat di sekitarnya, juga sebagai bentuk rasa hormatnya terhadap norma-norma yang ada dalam masyarakat. Jadi, meskipun Erika memiliki kecenderungan seksual menyimpang (lesbian), ia masih dapat dikatakan berkepribadian. Sebab, tiga perasaan (wedi, isin, dan pekewuh) masih bersemayam dalam hatinya.

D. Studi Kasus: Pergaulan Seorang Exhibist Dalam Keluarga dan Masyarakat Jawa

 
Apa Sih Exhibist Itu?
Selanjutnya, kita akan mengamati pergaulan seorang exhibist dalam keluarga dan masyarakat Jawa. Sebelumnya, kita perlu ketahui dahulu, apa itu exhibist? Exhibist ialah sebutan bagi orang yang memiliki kecenderungan seksual menyimpang, yaitu gemar memperlihatkan alat kelaminnya kepada lawan jenis, terutama kepada orang yang belum dikenalnya.

Exhibist sendiri berasal dari bahasa inggris exhibite yang berarti pamer. Ada istilah exhibionism, exhibition dan exhibist. Exhibionism berarti sifat suka pamer, exhibition berarti pameran, dan exhibist berarti orang yang memamerkan. Oleh karena itulah, orang dengan perilaku seksual menyimpang yang suka memamerkan atau memperlihatkan alat kelaminnya disebut exhibist. Ada sebagian orang mendefinisikan exhibist sebagai hobi mempertontonkan alat genital atau alat kelamin. Tapi saya kurang setuju, sebab istilah hobi itu berkonotasi positif. Jadi, sayang kalau digunakan untuk menterjemahkan kebiasaan seorang exhibist.

Kapan dan di mana exhibist beraksi, serta mengapa ia melakukannya? Seorang exhibist dapat melakukan aksinya kapan saja dan di mana pun. Mengapa ia memamerkan alat kelaminnya? Seorang exhibist melakukan aksinya itu demi memperoleh kepuasan seksual. Inilah cara ia melakukan masturbasi.

Exhibitionism memiliki tingkatan tersendiri yaitu sebagai berikut.
1. Mild
Pada tingkatan ini seorang exhibist memiliki kebiasaan seperti membuka kancing baju atas dengan sengaja, memakai baju seksi/ketat, sering bangga apabila ada lawan jenis yang memandang tanpa kedip kepadanya.
2. Severe
Pada tingkatan ini seorang exhibist lebih berani. Ia berani berganti pakaian di depan jendela, dengan maksud supaya tubuhnya dilihat orang lain. Ia juga berani menunjukkan alat genitalnya dengan sengaja kepada orang yg dikenalnya ataupun orang asing, dll. Kebanyakan exhibist mengalami sexual maltreatment (pelecehan seksual saat kecil) atau necglet (kurangnya kasih sayang dari orang tua, atau keinginan dicap seksi yang berlebihan).

Seorang exhibist dapat dikenali ciri-cirinya, antara lain:
• sebelum beraksi dia merasa tegang
• ada perasaan lega saat memamerkan alat genital/anggota tubuh yang seharusnya ditutupi kepada korbanya
• pada saat beraksi seolah-olah dia bermimpi, padahal dirinya dalam keadaan sadar
• seorang exhibist selalu menyesal setelah melakukan aksi pamer, namun selalu mengulangi aksi pamer alat genital.
• akan merasa sangat senang, puas, dan bangga bila korban ketakutan, kaget, dan shock. Oleh karena itu, dianjurkan kepada para korban, apabila menemui seorang exhibist beraksi sebaiknya tidak menunjukkan wajah shock/kaget, acuhkan sebisa mungkin, bila perlu perlu dijauhi, atau kritiklah dengan pedas dengan harapan pelaku akan marasa malu dan bisa berkurang aktivitas pamer alat genitalnya.

Exhibist di Dalam Keluarga dan Masyarakat
Bagaimana pergaulan exhisbist di dalam keluarga dan masyarakat? Berdasarkan pengamatan saya selama ini, sepertinya kebanyakan keluarga dari seorang exhibist tidak mengetahui kelainan yang dialami salah satu anggota keluarganya. Hal ini karena seorang exhibist cenderung menutup-nutupi masalah yang dialaminya. Di depan orang tua, istri, kakak-adik, mungkin juga anak-anaknya seorang exhibist berusaha bersikap sewajar mungkin. Hal itu disebabkan masih ada rasa isin pada diri seorang exhibist. Terlebih exhibist yang tinggal di lingkungan masyarakat Jawa. Di mana masalah seks masih dianggap hal yang tabu atau tidak pantas untuk dibicarakan secara terbuka. Apalagi ini menyangkut sebuah kelainan atau penyimpangan. Kelainan atau penyimpangan seksual diartikan sebagai sebuah aib yang harus ditutupi, jadi bila diungkapkan kepada orang sama dengan mengungkap aib diri sendiri. Di sisi lain, seks merupakan kebutuhan setiap manusia.

Sebenarnya, seorang exhibist sadar bahwa yang dilakukan merupakan suatu hal yang tidak pantas. Akan tetapi ia merasa kesulitan mengendalikan hasratnya itu. Oleh karena itu pula, hampir semua exhibist memilih untuk menyembunyikan kelainannya. Namanya juga kelainan ‘hal yang menyimpang dari semestinya’, tentu dicap negatif oleh lingkungan. Apalagi, di lingkungan masyarakat Jawa yang memegang teguh norma sopan santun dan tata krama.

Berdasarkan pengamatan saya terhadap perilaku exhibist dalam melancarkan aksinya, saya berhasil mengelompokkannya menjadi tiga sebagai berikut.
1. Seorang exhibist yang memamerkan alat genitalnya kepada lawan jenis dengan terang-terangan, tanpa rasa wedi, isin, dan pekewuh. Ia melakukannya tanpa pandang bulu, baik kepada orang yang belum pernah dikenal maupun kepada orang yang sudah dikenal baik.
2. Seorang exhibist yang memamerkan alat genitalnya kepada lawan jenis yang tidak/belum pernah dikenalnya sama sekali. Cara memamerkan secara terang-terangan. Ia
tidak merasa wedi, isin, atau pun pekewuh karena merasa tidak dikenal.
3. Seorang exhibist yang memamerkan alat genitalnya kepada lawan jenis yang tidak/belum pernah dikenalnya dengan cara tidak terang-terangan, misalnya dengan memakai topeng/cadar, atau dengan cara berpura-pura seolah tidak sengaja. Cara berpura-pura ini sebagaimana dijelaskan pada pembahasan sebelumya, misalnya dengan cara sengaja menurunkan resluitingnya atau berganti baju di dekat jendela. Perilaku ini dapat dianggap sebagai sebuah ketidaksengajaan oleh orang yang melihat. Jadi, suatu ketika saat ada yang mengingatkan, “Emm, maaf resluitingnya mas,” secara spontan seorang exhibist akan menjawab, “oiya, lupa,” padahal itu disengaja.

Dari ketiga tingkatan tersebut dapat ditarik benang merah, bahwa ada tiga tingkatan kematangan kepribadian pada exhibist, yang berarti dapat ditentukan fasih atau tidak ia menyesuaikan perilakunya dengan norma-norma yang ada dalam masyarakat Jawa. Kelompok exhibist ke-2 dan ke-3 adalah mereka yang masih mempunyai tiga perasaan yang harus dipelajari anak Jawa, yaitu wedi, isin, dan pekewuh. Exhibist ke-3 adalah kelompok paling berkepribadian dan bisa menyesuaikan dengan norma-norma dalam masyarakat. Kelompok ke-2 mendekati atau bisa dibilang berada di tengah-tengah. Di lingkungan keluarga dan orang-orang sekitar yang mengenalnya, ia tampak sangat wajar. Bahkan, mungkin dikenal sopan, ramah, dan beretika baik. Sebaliknya, di depan orang-orang yang tidak dikenal dan menjadi korbannya, ia tergolong tidak wajar, bahkan ‘kurang ajar’ karena mempertontonkan organ tubuh yang semestinya ditutupi.

Kelompok exhibist pertama ialah kelompok paling kurang ajar. Kelompok ini dianggap sebagai sampah masyarakat karena tidak dapat menghargai norma-norma yang ada. Orang-orang semacam ini biasanya dikucilkan dalam pergaulan. Ia tidak lagi mempunyai rasa wedi, isin, maupun pekewuh. Akibatnya,  ia akan merasa tidak dihargai oleh orang-orang di sekitarnya, dan cenderung senang menyendiri. Dalam beberapa kasus, ada yang berlanjut ke tahap depresi, dimana ia merasa dirinya sudah tidak berarti lagi.

E. Kesimpulan
Dalam pergaulannya orang yang memiliki perilaku seksual menyimpang cenderung akan selalu menutup-nutupi kelemahannya, yakni dengan berusaha bersikap dan berperilaku sewajar mungkin dalam masyarakat. Hal ini disebabkan, mereka masih memiliki tiga rasa yang harus dipelajari dan dipelihara oleh seorang Jawa, yaitu wedi (takut), isin (malu), dan pekewuh (sungkan).

Orang dengan perilaku seksual menyimpang yang berkepribadian akan berusaha berperilaku sewajar mungkin. Ia tidak peduli meskipun untuk itu ia harus terlibat dalam suatu sandiwara kepura-puraan, yang ia pun tidak mengetahui kapan berakhirnya. Sehingga, suatu saat nanti jangan heran bila menemukan seorang teman yang mungkin akrab dengan anda
tiba-tiba diketahui sebagai pribadi dengan perilaku seksual menyimpang entah exhibitionism, Voyourism, paedophilia, atau yang lainnya. Rata-rata mereka memang pandai sekali menutupi kekurangannya. Namun, kita mesti percaya bahwa sepandai-pandainya kita menyimpan bangkai, lama-lama ketahuan juga. Kendati demikian, kita tidak perlu percaya pada filsafat Tom Sam Chong Kosong adalah Isi, Isi adalah Kosong, sebab hal itu hanya akan menimbulkan prasangka buruk kita kepada orang lain alias shu’udzon.


Daftar Pustaka: 
Maria. A. Sardjono. 1995. Paham Jawa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan


Tulisan ini awalnya merupakan makalah yang saya buat demi memenuhi tugas mata kuliah 'Kajian Budaya Jawa' di Fakultas Sastra dan Seni Rupa UNS. Makalah ini saya kumpulkan pada hari Sabtu 14 Juli 2001. Kebetulan, waktu bersih-bersih kardus di gudang hari Minggu kemarin (20 Februari 2011) saya menemukan tulisan awal dari makalah tersebut, berupa tulisan tangan saya sendiri. File makalah ini saya sudah tidak memiliki, oleh karena itu saya pun tertarik untuk mengetiknya kembali, kemudian mengunggahnya di blog ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Amin